memilih sistem pondasi
Dari artikel saya tentang sistem pondasi tiang bor, ada beberapa komentar yang bernada pertanyaan, intinya ingin tahu bagaimana memilih sistem pondasi. Saya sebenarnya tidak terlalu ingin menanggapi, bukan karena nggak mau memberi respons tetapi karena saya pikir itu sudah ada di buku-buku text tentang pondasi atau mekanika tanah, dan saya lihat buku-buku seperti itu sudah banyak beredar di toko-toko buku. Apalagi bidang keahlian saya adalah struktur (pondasi adalah daerah grey area). Tapi kalau melihat respon tentang hal tersebut yang cukup banyak, rasanya saya jadi tergelitik untuk sekedar urun rembug juga.
Terus terang, ilmu tentang pondasi yang saya miliki tidak terlalu dalam, tingkat amatir gitulah, tapi sebagai structural engineer yang bertanggung jawab pada bagian konstruksi atas, maka minimal bisalah jika sekedar mengevaluasi sistem pondasi apa yang cocok untuk dipasangkan dengan struktur atas.
Koq bisa begitu ?
Yah, ini ada untungnya dibesarkan dalam budaya jawa.
Emangnya ada hubungannya pak ?
Ya itu ngelmu titen. Jika anda dibesarkan dibawah budaya jawa, maka sejak awal kita sudah dibiasakan untuk mengenali kebiasaan-kebiasaan dan dampaknya. Ciri-ciri dari orang-orang atau alam dan kebiasaan yang dihasilkan, akhirnya kita mempunyai perbendaharaan tentang hubungan sebab-akibat dari suatu subyek (bisa alam atau manusia).
Ingat ada suatu pepatah yang sangat umum bagi orang jawa, yaitu “tak titeni lho”, atau juga “otak-atik gathuk”, “katuranggan”, dsb.
Itu pula yang saya gunakan untuk memahami strategi orang dalam memilih pondasi. Tentu saja tidak hanya mengandalkan ngelmu titen tersebut, tetapi selanjutnya dicarikan korelasinya dengan ilmu rekayasa yang kita pelajari. Jadilah itu.
Memang benar bahwa untuk memilih pondasi maka perlu melihat besarnya gaya-gaya reaksi dari strukturnya, tapi menurut saya itu tidak cukup. Seorang structural engineer harus melihat secara komprehensip dan dialah yang memutuskan sistem pondasi apa yang dipilih, bahkan menentukan spesifikasi dari sistem pondasi tersebut, bukan soil engineer atau foundation engineer.
Si soil atau foundation engineer akan bekerja berdasarkan spesifikasi yang diminta oleh si structural engineer. Mereka akan mengajukan usulan-usulan sistem yang memenuhi persyaratan si structural engineer, khususnya kekuatan pondasi dalam menerima beban, resiko terjadinya displacement yang dapat mempengaruhi struktur, kelayakan pelaksanaan dan juga pengaruhnya terhadap lingkungan.
Dalam menentukan spesifikasi sistem pondasi atau bahkan menentukan sistem struktur yang akan diadopsi maka ada baiknya si engineer memahami kondisi lingkungan dimana struktur tersebut akan dibangun. Ini penting, bagaimanapun yang namanya proyek adalah sangat spesifik. Pemahaman akan kondisi alam sejak awal akan sangat membantu memilih sistem struktur juga pondasi yang dapat dipilih.
Untuk struktur yang mencakup suatu lokasi yang relatif kecil (tidak luas) maka data penyelidikan tanah setempat dan lokasi mungkin sudah mencukupi sebagai gambaran awal memilih sistem yang dimaksud. Di Kalimantan misalnya, didaerah yang ternyata adalah tanah gambut, jika disitu akan dibangun gedung misalnya maka faktor berat struktur dan pondasi dalam tentunya sudah mewarnai strategi perencanaan yang harus dikerjakan. Sebaiknya dipilih struktur yang relatif ringan, tidak peka terhadap differential settlement dan tentu saja sistem pondasi dangkal tidak bisa digunakan karena beresiko tinggi terhadap penurunan tanah jangka panjang.
Jadi kecuali daya dukung pondasi (forces) maka penurunan pondasi (displacement) juga perlu menjadi patokan dalam memilih sistem pondasi. Pondasi yang masuk dalam kelompok pondasi dangkal (telapak, footing, cakar ayam, laba-laba, pondasi menerus) beresiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya penurunan jangka panjang, khususnya jika tanah dibawahnya mayoritas adalah lempung (clay), kalau pasir (tertentu) perhatikan bisa juga terjadi efek liquifaction bila ada gempa. Meskipun jelas, pondasi dangkal relatif pengerjaannya sederhana dan berbiaya ringan dibanding pondasi dalam (bor atau pancang).
Jika ternyata diperlukan sistem pondasi dalam, maka ada beberapa pilihan, untuk gedung umumnya dua macam saja yaitu pondasi tiang pancang dan tiang bor. Pondasi caisson umum dipakai untuk jembatan. Jika dari mekanisme pengalihan gaya yang ditinjau maka dari sistem pondasi dalam tersebut dapat dipisahkan menjadi dua yaitu gaya dari ujung pondasi ditransfer ke tanah melalui mekanisme friksi (dinding tiang pondasi) dan melalui mekanisme tumpu (ujung tiang pondasi).
Jika tiang pondasi di pasang (pancang atau bor) sampai tanah keras (SPT > 40) maka yang akan bekerja adalah mekanime tumpu. Ini merupakan mekanisme yang paling andal melawan resiko terjadinya penurunan. dengan asumsi bahwa daya dukung tanah OK.
Mekanisme tumpu sangat dipengaruhi oleh diameter ujung tiang yang bertemu dengan tanah, jadi semakin besar diameternya maka semakin besar daya dukung tumpu yang dihasilkan. Berkaitan dengan hal tersebut maka sistem pondasi tiang bor, yang memungkinkan mempunyai diameter yang besar maka lebih unggul dibanding tiang pancang. Bahkan untuk sistem pondasi Franki yang mempunyai alat untuk memperbesar ujung pondasi jelas akan sangat menguntungkan. Itu pula yang menjawab mengapa jika diperlukan sistem pondasi dengan daya dukung besar, misal 300 ton atau lebih maka sistem pondasi tiang bor akan menjadi prioritas untuk dipertimbangkan. Untuk pondasi tiang pancang, karena ukurannya terbatas oleh alat angkut, maka kapasitasnya juga terbatas. Jika dipaksakan maka perlu jumlah tiang pancang yang lebih banyak. Perlu dipikirkan pile-cap dan ruangnya.
Kalau begitu pakai aja pondasi tiang bor.
Ya, nggak bisa begitu dong, jika karena gaya-gayanya memungkinkan memakai tiang pancang, mengapa tidak. Jika digunakan pondasi tiang pancang maka jelas, tiangnya sudah dibuat terlebih dulu, bahkan dapat memakai baja atau beton prategang. Kalau pakai tiang bor khan nggak bisa. Kedua material tersebut mempunyai keunggulan, lebih reliable dibanding beton bertulang pada pondasi tiang bor yang harus dicor ditempat. Kualitasnya tergantung kontraktor yang mengerjakan.
Jadi ini masalah keyakinan sistem struktur yang tertanam di bawah tanah tersebut.
Jika pakai tiang pancang, maka karena daya dukung relatif kecil dibanding tiang bor maka perlu jumlah tiang pancang yang lebih banyak. Kalau dipakai tiang bor karena daya dukung bisa gede, tentunya pakai diameter tiang bor yang lebih gede dari tiang pancang lho, kalau pakai diameter sama maka daya dukung tiang bor kalah lho dengan tiang pancang. Ingat tentang fenomena paku, yang dipaku langsung dengan dibor dulu. Kaku mana hayo.
Tetapi keyakinan bahwa bagian bawah mutu tiangnya baik maka yang bisa diandalkan adalah tiang pancang, daerah lemah khan hanya pada sambungannya. Kalau ini bisa diatasi, pasti ok. Jadi resiko gagal untuk tiang pancang relatif kecil dibanding tiang bor dalam segi pelaksanaannya. Jadi katakanlah dalam suatu proyek jika dipakai tiang pancang perlu 100 tiang, maka jika gagal satu maka hanya 1% saja, tapi coba jika pakai tiang bor yang hanya perlu katakanlah 50 tiang, maka jika gagal satu maka prosentasi kegagalan 2%, lebih tinggi.
Dalam memilih tentu hal tersebut perlu dipertimbangkan.
Itu di atas baru dari sisi kekuatan dan kekakuan, bagaimana yang lain.
O ya perlu diperhatikan juga sistem struktur atas yang digunakan, misalnya untuk struktur ‘statis tertentu’ dan ‘struktur statis tak-tentu’ akan mempunyai ambang batas yang berbeda berkaitan dengan adanya penurunan (differential settlement).
Ingat pondasi yang nggak kuat itu dapat dilihat dari terjadinya penurunan gitu lho. Jadi kekuatan dan kekakuan itu adalah barangnya sebenarnya sama aja. Hanya cara memandang aja.
Tadi diatas, saya meminta untuk melihat kondisi proyek, ini penting karena pelaksanaan sistem pondasi dalam di atas mempengaruhi tanah disekitarnya. Tiang pancang, kecuali menghasilkan noise yang mengganggu (coba aja anda mancang di dekat rumah presiden, kena complaint dah ). Juga tanah bisa terpengaruh, contohnya heave. Itu bisa diatasi dengan strategi pelaksanaan. Tapi kalau rumah tetangganya yang pakai pondasi dangkal terpengaruh heave tersebut, sehingga terangkat dan rumahnya retak-retak. Hayo gimana ayo. Sistem pondasi tiang bor kurang beresiko kalau soal itu.
Ketersediaan teknologi dan material. Ya ini lain soal, ini umumnya masalah kontraktor.
Banyak khan yang menjadi bahan pertimbangan untuk memilih pondasi tersebut. Jadi rasanya tidak ada formula pendek untuk menetapkan suatu pilihan. Inilah seninya engineer tersebut. Nggak bisa tuh, engineer ‘baru masuk’ langsung ‘cespleng’, perlu jam terbang. Gitu lho.
Ada yang mau menambahin.
Eh pak, mana kaitannya dengan ngelmu titen yang bapak singgung di depan.
Eh kamu, itu. Saya bisa nulis banyak di atas, itu ya dari ngelmu itu, di textbook nggak ada itu, kalaupun ada, terpisah-terpisah. Lha dengan ngelmu titen tadi saya bisa merangkainya menjadi sesuatu fenomena yang logis gitu.
Jadi itulah gunanya melihat ke lapangan. chek and richek gitu lho.
http://wiryanto.wordpress.com/2007/12/19/memilih-sistem-pondasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar